Archive for March, 2008

31
Mar
08

Bulan masih terang


Malam ini purnama, tanggal limabelas di penanggalan jawa. Bulan yang bulat terang bersinar penuh. Seakan ingin menunjukkan keindahannya. Atau mungkin pesonanya pada makhluk – makhluk di bumi seperti kita ini. Mungkin juga sedang mengejek kita di bawah sini. Hai.. makhluk – makhluk kecil yang tak tahu juga kebesaran Tuhan yang telah menciptamu. Sombong kau jadikan di bawah sana. Sebenarnya apa yang kalian mau makhluk kecil. Begitu seandainya bulan sanggup untuk kita mengerti. Kita pahami dan jelajahi dengan sepenuh hati.

Kami, aku tersentak. Bulan masih terang. Rahmat Allah pun masih tercurah bagai air bah turun di niagara. Sekali lagi aku terjatuh. Dan aku pun jadi ingat. Aku jadi heran. Kemarin aku selaksana raja di dunia ini. Aku lupa segalanya. Tuhanku, kehidupanku, kebaikanku, tak lagi kuingat. Ah… mengapa aku bisa lupa. Mengapa Tuhan, kau ciptakan kami seperti ini. Lupa saat kami merasa berkuasa.

Kini aku terjatuh. Ya, sekali lagi terjatuh. Dan tiba – tiba saja aku teringat padaMu ya Allah. Astaghfirullah….. Astaghfirullah….. Astaghfirullah….., kuucapakan istighfar biar aku bisa bersabar. Ya Allah ampunilah hambaMu yang nista dan dusta ini. Tersesat di dunia membuat aku melupakanMu. Atau mungkin aku yang terlena dan tak sanggup menahan semuanya. Ya Allah, ampunilah hambaMu ini. Allohumma ajirni minnannari….

Apa yang tak kusyukuri, kini kusyukuri. 

31
Mar
08

Bawong, apa yang bisa dipetik…


Mengingat Bawong, tentu kita akan ingat salah satu cerpen karya Emha Ainun Najib atau yang lebih kita kenal dengan nama Cak Nun yang judulnya… Ah saya lupa. Pokoknya ada di salah satu buku kumpulan cerpennya, yang lagi – lagi saya lupa. Tapi bukan judulnya yang saya ingin kupas di sini. Tapi lebih pada esensinya. Isi ceritanya. Makna di dalamnya. Tentang pelajaran hidup yang ada di balik setiap peristiwa. Tentang perjuangan hidup di tengah kenistaan.

Bawong adalah gambaran rakyat kecil yang cuma di anggap sebagai sampah oleh keluarganya sendiri. Bahkan orangtuanya, terutama bapaknya. Ia menganggap Bawong itu cuma beban keluarga yang seharusnya tidak pernah ada. Karena apa, Bawong lahir di luar pernikahan ibunya dan bapaknya. Ia adalah anak yang ada sebelum terjadi ikatan yang sah.

Bawong terjebak pada kehidupannya yang selalu saja diremehkan oleh orang lain. Nista, jijik, taik, dan cacian kotor lainnya sudah biasa ia terima. Bukan bermaksud untuk mengungkapkan bahwa Bawong itu manusia sampah. Tapi memang Bawong sendiri telah terjebak dalam apa yang namanya kebencian akan ketidakmapanan. Ia miskin dan tak punya penghasilan. Pekerjaan pun kadang ada, kadang tidak. Serabutan istilahnya. Bawong cuma bisa menjalaninya meskipun ia sadar bahwa sebenarnya nasibnya ini tak lebih dari perbuatannya dulu yang katanya ”amat sangat tidak baik”.

Bawong bukanlah makhluk suci yang harus di Tuhankan. Ia pun cuma manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan. Dulu ia adalah seorang yang amat kotor. Bahkan lebih rendah daripada binatang. Ia cuma memuaskan nafsu dan syahwatnya saja hingga ia puas. Tak heran sudah lebih dari 300-an (maaf) pelacur ia gauli. Cuma buat satu alasan “KEPUASAN”. Ya, dulu ia cuma menganggap bahwa kepuasan adalah segalanya di dunia ini. Tak lebih tak kurang, inilah yang menjadikannya lebih rendah dari binatang.

Ia pun dulu sempat kuliah di “tempat orang buangan”. Ya, fakultas sastra nusantara. Yang bagi kebanyakan orang, termasuk anda dan saya barangkali, termasuk jurusan yang sangat jarang peminatnya. Kalaupun ada yang masuk di situ, mungkin orang itu tak diterima di fakultas manapun. Mungkin. Di situpun Bawong cuma sekedar numpang lewat alias tidak tahu apa – apa tentang apa yang dipelajari di situ. Bawong merasa kuliah cuma buat sekedar pengisi aktivitas ketimbang nganggur di rumah. Daripada cuma makan tidur, makan tidur kan lebih baik ada kegiatan lainnya. Ini juga yang membuat bapaknya lebih meradang kepadanya. Ia ingin si Bawong cepat kuliahnya dan segera cari pekerjaan. Ya minimal dapat ijasah, terus jadi sarjanalah. Di negeri ini kan yang penting ijasahnya bukan kemampuannya.

Bawong pun memutuskan berhenti dari kuliah dan ia mencari pekerjaan sendiri. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia sendiri pun tak yakin ia akan dapat pekerjaan apa. jadilah ia cuma bisa bekerja serabutan. Kalau ada pekerjaan apa saja pasti ia kerjakan, kalau tidak ya ia pun nganggur. Namun, ia pun menemui pekerjaan yang nampaknya ia sendiri cocok. Pegawai borongan. Ya meskipun tak seberapa uang yang di dapat, tapi cukup untuk mengisi perutlah. Walaupun tidak cukup kenyang.

Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang wanita yang mencintainya. Wanita itu adalah seorang guru di sebuah SD negeri. Sayang sekali, sekali lagi saya lupa nama wanita itu. Wanita ini murni mencintai Bawong apa adanya. Ia pun ingin agar Bawong mengajar di SD atau SMP. Pokoknya semampunyalah. Toh, Bawong pernah kuliah walaupun cuma sebentar. Namun Bawong menolak. Ia merasa tidak mampu mengajar apalagi ia tak punya ijasah untuk itu. Ah… lagi – lagi ijasah.

Lagi – lagi orangtua menjadi halangan baginya. Namun kali bukan orang tuanya sendiri, melainkan orang tua si wanita itu. Terutama, lagi – lagi, bapak si wanita itu. Kenapa. Dulu sekali, ibu si Bawong adalah kekasih dari Bapak si wanita itu. Tapi kemudian, ibu Bawong berselingkuh dengan laki – laki lain yang tak lain dan tak bukan adalah bapaknya sendiri. Dan lahirlah Bawong. Inilah yang menjadikan bapak si wanita itu begitu benci pada Bawong. Lebih – lebih Bawong tidak punya pekerjaan tetap. Lengkap sudah alasannya untuk bisa membenci Bawong luar dalam.

Penolakan – penolakan silih berganti ditujukan kepada Bawong oleh bapak si wanita itu. Mula – mula secara halus. Tapi tak lama kemudian penolakan itu berubah menjadi pengusiran yang kasar. Bawong tak ubahnya gelandangan yang harus disingkirkan jauh – jauh.

Bawong, nama inilah yang juga menjadikan Bawong untuk bangkit dan berubah. Bawong? Ya Bawong. Nama itu di berikan bapak si wanita itu kepada anak anjingnya yang baru lahir. Anjing kecil itu sekarang punya nama sama dengannya, Bawong. Inilah yang membuat Bawong merasa benar – benar terhina dan ia merasa begitu diremehkan. Ia tak sudi dengan itu. Ia pun masih punya harga diri.

Ia pun segera bangkit dan meninggalkan wanita itu. Ia semakin larut dalam pekerjaanya dalam hal pemborongan. Ia jadi rajin dan akhirnya ia pun mengetahui seluk – beluk pekerjaannya itu. Sampai ia kini semakin sukses dan dianggap sebagai salah satu pemborong yang terkenal. Ia kaya raya dan tak lagi dipandang sebelah mata. Bertuan harta dan tak pernah lupa bahwa dulu ia papa. Sampai akhirnya ia menikah dan punya anak. Anak itupun dinamakan seperti namanya sendiri, Bawong. Mungkin inilah sindiran kepada bapak si wanita yang dulu urung dinikahinya. Tentang anak anjing yang juga namanya sama dengan namanya dan nama anaknya.

Apa yang dapat dipetik di sini. Bawong bukanlah siapa – siapa sampai ia benar – benar diberitahu siapa ia sebenarnya. Ia pun tak pernah menyerah pada nasib tentang apa jadinya ia nanti. Masa lalu biarlah berlalu. Dan dengan berusahalah orang bisa mengubah nasibnya sendiri. Masa lalu tetap tak bisa diubah. Dan biarlah ia menjadi debu di tengah teriknya matahari di padang pasir kehidupan.  




March 2008
M T W T F S S
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31  

check out my facebook

Image and video hosting by TinyPic Join Us! Purbalingga Blogger Community on Facebook

harga blog-ku


My site is worth $78.
How much is yours worth?